Opiniindonesia.com – Bicara tentang ideologi manusia dengan segala carut marutnya seolah tiada pernah selesai. Bergulir, menyeruak pikiran hingga relung hati pun seringkali turut terkoyak. Kini, Pancasila yang diklaim sebagai ideologi sedang menghadapi perang diskurus tentang kemurnian dan konsekuensi penghayatan dan pengamalannya dalam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan mondial-dunia. Bayangan keambrukan ideologi pun terlintas mengingat memang itulah sifat ciptaan manusia yang tidak pernah sempurna.
Jika Pancasila diyakini sebagai ideologi ciptaan manusia, ideologi ini bisa menjadi rapuh jika 4 gejala faktor keambrukan ideologi sebagaimana dikatakan oleh John T. Josh yang sangat rawan itu melingkupi objek maupun subjek ideologi ini. Empat faktor itu meliputi:
(1) Ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence;
Baca : Wacana dan Silang Pendapat Seputar RUU Haluan Ideologi Pancasila
Contoh:
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa dimaknai Esa dalam pluralitas; semua agama sama, bahkan dimaknai dengan Ketuhanan yang berkebudayaan. Punya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab tetapi HAM diredam; Persatuan Indonesia: bercerai berai, pseudo unity, mudah terbakar laksana daun kering: sulit diikat mudah dibakar; Kedaulatan rakyat: kedaulatan partai, demokrasi tak langsung: demokrasi langsung; Keadilan sosial: keadilan individual dan sebagainya. Yang ada: LOGICAL INCONSISTENCY.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
(2) Most people are unmoved by ideological appeals;
Contoh:
Sesuai sila Kemanusiaan HAM diremehkan. Penangan teroris dilakukan dengan extrajudicial killings, ternyata banyak terjadi persekusi intimidasi hak berpendapat, banyak pelarangan tak mendasar padahal sudah dijelaskan secara hukum itu bukan makar melainkan hak kebebasan berbicara. Dengan Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 sudah diingatkan bahwa negara akan terjun bebas menjadi negar kekuasaan (bukan kedaulatan rakyat dan hukum). Masih berlanjut pula pada pembubaran Ormas tanpa due process of law yang berarti bertentangan dengan sila 2 HAM berserikat berkumpul dan lain-lain. Yang kekinian tentang Perppu Corona No. 1 Tahun 2020, yang juga banyak kontroversi ideologik dan motivasi keadilan sosial namun justru tetap disetujui oleh DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020. Yang ada: WEAK MOTIVATION
(3) There are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content;
Contoh:
Tidak ada perbedaan substantif antara: ideologi Pancasila, sosialis dan liberal dalam hal berpolitik, berekonomi, berbudaya. Semua dalam area abu-abu. Kita mengaku berdemokrasi ekonomi Pancasila tetapi semua lini ekonomi kita dasarkan pada liberalisme kapitalisme. Politik pemerintahannya sangat komunis tetapi sistem perekonimiannya sangat kapitalistik. Lalu adakah perbedaan substantifnya? Yang ada ialah PRAGMATISM IDEOLOGY.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
(4) There are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.
Contoh:
Tidak ada perbedaan psikilogis yang fundamental PARA PENDUKUNGNYA, antara sayap kanan dan sayap kiri serta yang mengaku ideologi tengah. Perangainya, karakternya, gayanya sama saja dalam meraih dan memperebutkan kekuasaan. Tanpa visi ke depan yang panjang apalagi kehidupan setelah mati. Yang ada yaitu OPPORTUNIST PROPONENTS.
Empat faktor itulah yang menyebabkan suatu ideologi “dying”, sekarat. Kesaktian Pancasila pun akan lenyap ketika 4 faktor penumbang ideologi merangsek, menggerogoti akarnya yang rapuh. Pancasila boleh jadi tidak memiliki KESAKTIAN lagi melawan gempuran ideologi kapitalisme dan komunisme, bahkan untuk berperang dunia melawan covid-19 ternyata juga banyak mengalami kegagalan sehingga justru mengalami KESAKITAN. Dan juga boleh jadi kita sekarang masih merasa memiliki Pancasila, namun sebenarnya kita hanya sekedar memiliki jasadnya, karena ruh Pancasila tidak lagi kita miliki. Kita lebih menggeluti dan mati-matian menerapkan ideologi liberal kapitalstik dan bercampur dengan sosial komunisme yang sangat sekuler dibandingkan menggeluti dan menerapkan ideologi Pancasila itu.
Munculnya RUU HIP konon menurut inisiatornya untuk memperkuat kedudukan ideologi Pancasila dari gempuran ideologi kapitalis. Bahkan, konon katanya akan dipakai untuk mengoreksi UU yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sampai di sini saya merasa aneh. Pertanyaan saya: “siapa yang membuat UU tersebut? Bukankah inisiator RUU ini turut menyuplai berkembangnya ideologi kapitalis atau kerusakan di Indonesia akibat kebijakan publik yang dibuat mereka?”
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Hadirnya RUU HIP ternyata justru mempercepat “dying”-nya Pancasila karena telah menyeret Pancasila terjatuh dalam pelukan filsafat materi yang mengilhami dua ideologi besar penyusup Pancasila, yaitu Komunisme dan Kapitalisme.
Apa Buktinya:
- Mendown grade keluhuran Pancasila sbg Grundnorma, Sumber Hukum Nasional, Leitztern, Kaidah Penuntun MENJADI NORMA INSTRUMENTAL BIASA. Rentan utk dijadikan sbg: berhala, alat gebuk (legitimasi); ditafsirkan sesuai rezim, memecah belah bangsa.
- Membuka peluang masuknya ideologi komunisme terbukti dari cacat politik hukum dan banyaknya distorsi teks dan konteks Pancasila.
(1) Konsiderans tdk memuat arah kebijakan hukum sesuai dgn urgensi kebutuhan, dasar ideologisnya (Dekrit Pres dan Tap MPRS);
(2) Pergeseran sendi dari Ketuhanan YME ke Keadilan sosial (dr keruhanian ke materialisme); (3) Pemerasan keutuhan 5 sila menjadi Trisila dan Eka sila (Gotong Royong: ciri khas slogan komunis);
(4) Ketuhanan YME dimaterikan Ketuhanan yang Berkebudayaan;
(5) Bargaining Tap MPRS XXV 1966 dengan pelarangan “ajaran Islam khilafah” dan radikalisme yang keduanya menyasar umat Islam. Menghadap-hadapkan AGAMA dan Pancasila. Ditelusuri: Agama adalah musuh terbesar Pancasila. Ini karakter komunisme.
- Urgensi UU tidak ada karena masih punya: Tap MPRS XXV 1966, UU No. 27 1999 jo Pasal 107 a s/d f, Tap MPR No. VI 2001 Etika Kehidupan Berbangsa. Adanya UU HIP justru melumpuhkan “kedigdayaan / Kesaktian Pancasila” bahkan yang terjadi adalah Kesakitan Idelologis.
- Potensi perpecahan warga bangsa terbuka karena membuka peluang debat tak berkesudahan sementara Pancasila sudah final. Pancasila bisa lumpuh karena HIP justru akan menjadikan Pancasila ditarik-tarik mengikuti falsafah ideologi lain karena sebenarnya Pancasila itu bagai TABULA RASA. Semua tergantung rezim yang berkuasa.
Dalam hati sebenarnya saya pun bertanya, hidden agenda apa sebenarnya di balik “ngotot”-nya DPR dan Presiden untuk mengegolkan RUU HIP ini menjadi UU? Terkesan ada upaya untuk membenturkan agama, khususnya Islam dengan Pancasila sejak pernyataan Ketua BPIP di bulan Pebruari 2020 bahwa “musuh terbesar Pancasila adalah Agama, penggantian Assalamu’alaikum dengan Salam Pancasila ( di ruang publik) serta keinginannya untuk menggeser kitab suci di bawah konstitusi. RUU HIP ini tentu dapat dilacak keterhubungannya dengan rentetan pernyataan-pernyataan Ketua BPIP yang salah jika ditinjau dari perspektif Islam.
Belum lagi adanya pernyataan Sekjend PDIP Hasto Kristiyanto terkait dengan persetujuannya dimasukkannya Tap MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ideologi komunisme, marxisme-leninisme ke dalam RUU HIP dengan syarat agar ideologi lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila juga dilarang. Hasto menyebut dua paham yaitu khilafahisme dan radikalisme. Syahdan, hal ini menimbulkan kegerahan umat Islam karena khilafah itu bukan isme yang disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme.
Khilafah ajaran Islam tentang sistem pemerintahan yang bersumber pada Al quran, Hadist dan Ijtihad para Ulama. Radikalisme yang beraroma politik pun–bukan hukum—disebut sebagai ancaman karena miskinnya literasi tentang radikal. Perlu diketahui bahwa semua ideologi itu radikal. MARHAENISME juga memiliki karakter RADIKALISME di samping MACHTSVORMING dan MASSA-AKSI. Namun yang terjadi, kedua nomenklatur tersebut justru langsung menyasar dan memojokkan umat Islam? Inikah hidden agenda itu, hendak menghalangi kemajuan peradaban Islam di tanah air?
Menghadapkan agama dengan Pancasila, dan juga Negara tampaknya tidak berhenti sampai di sini. Upaya mendegradasi keluhuran ajaran Islam terkesan terus diupayakan dengan phobia yang tidak beralasan. Negeri ini tidak pernah hancur karena isu radikalnya ajaran Islam karena umat Islam memang bukan umat yang menggaungkan radikalisme busuk (peyoratif) yang patut diduga terus dihembuskan oleh pemerintah sendiri. Umat menjadi terpojok dan dipojokkan oleh pemerintah sendiri melalui kebijakan-kebijakan yang tidak populis bahkan bisa dikatakan radikal juga. Antara lain dapat pula dikritisi kebijakan di bidang pendidikan yang dapat menjadi sasaran untuk menghadapkan antara negara dan agama.
Terakhir isu penggesearan materi Jihad dan khilafah dari materi fikih (ajaran Islam) menjadi materi kesejarahan saja. Ini perubahan yang sangat radikal dan sekaligus mendegradasi ajaran Islam itu sendiri. Para ulama pun tidak berani menggeser ruh Islam berupa jihad dan khilafah itu dari fikih, tapi mengapa pemerintah berani-beraninya menggeser kedudukan materi itu tanpa persetujuan para alim ulama di negeri ini? Saya kira tidak berlebihan jika revisi kurikulum itu terbebas dari adanya hidden agenda.
Revisi kurikulum itu lebih tampak diwarnai phobia terhadap ajaran Islam dibandingkan upaya mencari solusi memperbaiki negeri. Mestinya pemerintah mendorong agar rakyat makin mengamalkan ajaran agamanya secara baik dan patuh, bukan malah menjuluki orang yang patuh pada ajaran agamanya distempeli terpapar radikalisme. Apakah hal ini juga merupakan roadmap lanjutan RUU HIP dengan “konsep agungnya” tentang manusia dan masyarakat Pancasila dalam versi rezim, padahal rezim sendiri belum bisa dikatakan Pancasilais?
Mau diomongkan apa pun, intinya RUU HIP cacat baik secara politik hukum maupun dari sisi substansinya. Distorsi teks dan konteks terhadap Pancasila telah terjadi sehingga terindikasi adanya degradasi nilai transendental kehohanian menjadi kematerian dan adanya dugaan makar ideologi Pancasila. Hanya ada satu kalimat yang pas untuk menyikapinya yaitu:
“TOLAK RUU HIP TANPA RESERVE” dan “USUT TUNTAS DUGAAN MAKAR IDEOLOGI”.
Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat