TAHUN INI bisa disebut tahun duka cita bagi industri pers kita, terutama bagi para wartawannya baik wartawan cetak dan elektronik serta para pembaca dan penontonnya. Adanya peristiwa raksasa 212 tak masuk dalam coverage liputan media TV dan media cetak menjadi sebuah pertanyaan sangat besar, apakah Industri pers kita terkena penyakit buta,bisu dan tuli sekaligus?
Tulisan Hersubeno Arief berjudul “bunuh diri massal pers Indonesia jilid 2” layak jadi perenungan bagi seluruh wartawan di tanah air dan juga mantan wartawan seperti penulis yang kadung cinta sama profesi wartawan, serta seluruh masyarakat Indonesia yang memang butuh informasi media.
https://opiniindonesia.com/2018/12/08/senjakala-akal-sehat-dan-kejujuran/
Dalam pembukaan tulisannya, Hersubeno menggugah para wartawan :”Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal semakin nyata.Pemberitaan Media massa tentang Reuni 212 yang berlangsung di Monas Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini coba ditup-tutupi.Kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, framing dan black out (tidak memberitakan)”.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Perisiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak berita, bagi sebagian besar media nasional yang terbit di Jakarta. Di media elektronik hanya tvOne yang mengcover liputan peristiwa 212. Tapi televisi lainnya baik TVRI, Net, Indosiar, MNCTV, Trans7, GTV, RCTI, TransTV, KompasTV, SCTV dan MetroTV tidak meliput sama sekali.
Sedangkan di media cetak tercatat hanya dua media yang menempatkan peristiwa 212 sebagai berita di halaman muka (HL) yaitu Republika dan Rakyat Merdeka.Media besar lain seperti Tempo, Media Indonesia atau Kompas hanya menempatkan perisiwa 212 sebagai peristiwa “asal ada” beritanya, Seperti Kompas yang menempatkan berita itu dalam halaman 15.
Nurani
Bila kita menelusuri sejarah pers nasional, pertimbangan hati nurani menjadi dasar berpijak dan bekerja wartawan generasi pertama Indonesia Tirto M.Adhisuryo. Kalau mau kaya, Tirto bisa saja menggunakan skill kemampuan menulisnya untuk menjadi wartawan dari surat kabar milik Pemerintah Kolonial Belanda. Namun pertimbangan nurani membuat Tirto M.Adhisuryo membuat surat kabar sendiri yang kebetulan tercatat sebagai surat kabar nasional pertama.Sudut pandang liputannya tentu saja dari kepentingan masyarakat pribumi sebagai orang jajahan.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Pers perjuangan yang dipelopori Tirto Adhisuryo terus berlanjut ke masa pendekar-pendekar pers sebelum kemerdekaan Indonesia dan bulan madu pers nasinal dengan orde lama. Kita mahfum pendekar-pendekar pers dibalik terbitnya Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Suara Merdeka Semarang, Pikiran Rakyat Bandung dan lain-lain menempatkan nurani sebagai timbangan utama.
Munculnya figur Muchtar Lubis sebagai wartawan jihad di masa orde lama dan orde baru yang menempatkan hati nurani dalam setiap berita di korannya, mungkin menjadi “jejak percontohan” bagi setiap anak muda generasi sekarang yang mau menekuni profesi sebagai wartawan.
Berprofesi menjadi wartawan berarti menjadi jarum jam sejarah untuk setiap peristiwa yang ada di masyarakat. Wartawan dengan senang hati menjadi pelaku dokumentasi setiap peristiwa di masyarakat.Dan tugas wartawan Cuma dua yaitu mencari berita dan menulis atau menyajikan berita.
Di masa orde baru, pekerjaan wartawan dalam mencari berita dan menulis berita mengalami kendala dengan budaya telepon dan sensor penguasa.Hati nurani mengalami ujian. Kalau ada yang bandel pasti kena sangsi breidel oleh penguasa. Dan ini menjadi hantu para pemilik media.
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Bukan rahasia lagi, di masa orde baru pers ternyata mulai menyelma menjadi lahan bisnis yang menjanjikan. Contoh saja stasiun TV pertama RCTI sumber pemasukan terbesarnya berasal dari divisi news yaitu seputar Indonesia yang memproduksi berita. Hebatnya lagi RCTI menjadi anak usaha yang paling untung dari grup Bimantara.
Tak heran industri pers ramai-ramai dimasukkin para konglomerat. Di sini ada 2 jenis konglomerat yaitu pers konglomerat yaitu pers yang berkembang jadi konglomerat seperti group Kompas dan konglomerasi pers yaitu konglomerat yang masuk bisnis media seperti Transtv dan trans7nya milik konglomerat Chairul Tanjung.
Perkembangan konglomerasi pers dengan segala dinamikannya ini terus berlangsung hingga era reformasi. Pers dengan pertimbangan nurani meski terseok-terseok masih terus ada. Istilah kata, pers sebagai industri berbasis nurani masih exist-lah.
Ancaman
Penulis menangkap ada seputar permasalahan lagi dalam proses mencari berita dan menulis berita seperti masa orde baru, ketika wartawan tidak mengcover liputan demo mahasiswa di istana dan demo guru honorer belum lama ini.Wartawan sebagai jarum jam sejarah tidak berjalan sama sekali.Wartawan yang menjadi pelaku dokumenter sejarah tidak berperan.
Kondisi tersebut semakin terlihat ketika terjadi momentum 212, ketika hampir semua TV tidak meliput dan media cetak hanya meliput dalam porsi yang kecil. Padahal prinsip dan definisi berita yang dipegang wartawan masih sama dengan jaman Tirto Adhisuryo. Bahwa layak tidaknya sebuah peristiwa jadi berita yaitu luasnya pengaruh (Magnitude), kedekatan (proximity), actual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interst) dan keluarbiasaan ( unusualness).
Menyadari eksistensi pers sekarang ada faktor pemilik modal, pimpinan media, wartawan dan orang iklan maka banyak factor yang mempengaruhi pencarian berita dan penulisan berita. Namun kalau sampai tidak diliput beristiwa sebesar 212 berarti ancaman nasional buat anak-anak mudak yang menekuni profesi jadi wartawan.
Atau yang penulis khawatirkan, senjakala industri pers nasional berarti alarm kematian bagi pers kita. Dalam arti masyarakat jadi tidak percaya media dan ramai-ramai meninggalkan media konvensional. Mirip fenomena fintech.
[Oleh : Ahmad Iskandar Bait. Penulis adalah mantan wartawan, kini dosen di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Tulisan ini sudah dipublikasikan akun facebook pribadinya]