RUU Haluan Ideologi Pancasila dan Perjanjian Hudaibiyah

Avatar photo

- Pewarta

Rabu, 15 Juli 2020 - 08:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua. (Foto : nasional.tempo.co)

Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua. (Foto : nasional.tempo.co)

Opiniindonesia.com – Perjanjian Hudaibiyah merupakan suatu peristiwa yang mengawali kemenangan perjuangan umat Islam. Perjanjian ini langsung dipimpinan Nabi Muhammad SAW. Perjanjian yang tadinya mengecewakan sebagian sahabat, ternyata mendatangkan kemenangan gemilang bagi umat Islam. Sebab, dalam masa gencatan senjata di antara umat Islam dengan orang kafir, dakwah berkembang pesat, baik di jazirah Arab maupun di luarnya. Indikatornya, ketika terjadi perjanjian, umat Islam yang ikut rombongan umroh hanya 1.500 orang. Namun, ketika penaklukkan kota Makkah (8H), 12 ribu orang mengikuti Nabi Muhammad. Indikator kedua, belum setahun perjanjian Hudaibiyah, orang Arab yang masuk Islam lebih banyak dari jumlah sebelum ada perjanjian. Indikator ketiga, hanya dalam waktu dua tahun pasca perjanjian Hudaibiyah, seluruh penduduk kota Makkah masuk Islam. Indikator keempat, pasca penaklukan kota Makkah, seluruh penduduk di jazirah Arab, khususnya Bani Sulaim, Bani Ghifar, Bani Aslam, Bani Ka’ab, Bani Muzainah, Bani Juhainah dan Bani Asyja, masuk Islam.

Surat Nabi ke Para Penguasa
Genjatan senjata di antara umat Islam dan golongan kafir dimanfaatkan Nabi Muhammad SAW dengan mengirim surat ke pelbagai penguasa, antara lain: Heraclius (kaisar Romawi), Maharaja Abrawiz (Kisra Persia), Najashi (Maharaja Absenia), dan Muqauqis (raja Mesir). Nabi Muhammad SAW juga mengirim surat ke penguasa di semenanjung Arab seperti: Al-Mundzir bin Sawiy (Raja Bahrain), penguasa Yamamah, Bashra, dan Damaskus.
Hasilnya, raja Najasi masuk Islam. Raja Mesir dan Romawi menghormati dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW. Satu-satunya raja yang menolak, bahkan merobek surat Nabi Muhammad adalah Kisra Persia. Nabi Muhammad mendoakan agar negeri itu dirobek-robek. Doa beliau dikabulkan di mana Persia ditaklukkan Romawi dan rajanya dibunuh oleh anak sendiri. Penguasa di jazirah Arab, semuanya menerima ajakan Nabi Muhammad kecuali Yamamah.

RUU HIP dan Janji Pimpinan DPR
RUU HIP adalah salah satu bentuk korupsi politik di mana komunisme melalui pendukung mereka di DPR akan membubarkan Pancasila. Prosesnya sangat canggih. Lima sila diperas menjadi trisila. Trisila diperas menjadi ekasila yang bermakna gotong royong. Maknanya, aqidah umat Islam yang diperjuangkan ulama dari Aceh sampai Maluku, hilang. Sebab, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai aqidah Islam tersebut, hilang.
MUI dalam merespons gerakan komunisme terselubung ini mengeluarkan pernyataan, menolak RUU HIP. Sikap ini didukung MUI se-Indonesia. Tanggal 24 Juni 2020, ribuan umat Islam unjuk rasa di depan kantor DPR, menolak RUU HIP. Terjadi semacam “perjanjian Hudaibiyah” di antara umat Islam dan Pimpinan DPR. Sufmi Dasco Ahmad dan Azis Syamsuddin, dua wakil Ketua DPR yang menerima perwakilan Anak NKRI, berjanji akan menghentikan pembahasan RUU HIP dengan mengikuti mekanisme yang ada.
Merujuk ke tindakan Nabi Muhammad pasca perjanjian Hudaibiyah, sepatutnya sesudah tanggal 24 Juni tersebut, MUI Pusat melakukan lobi yang sama. Dimulai dengan melobi perwakilan Romawi yang diwakili MAWI dan representasi Raja Abesenia melalui PGI. Pada waktu yang sama, MUI provinsi, Kabupaten, dan kota se-Indonesia melobi MAWI dan PGI di tingkat daerah untuk tujuan yang sama. Ketua PGI mungkin tidak meneladani raja Abesenia masuk Islam. Namun, beliau bisa bersama-sama umat beragama menghadapi musyrikin Quraisy Senayan yang akan menghilangkan agama di Indonesia. Apalagi agama akan diganti dengan penyembahan berhala berupa Ketuhanan yang berkebudayaan. Sebab, agama asli nenek moyang Indonesia sebelum datang Islam adalah penyembahan berhala, baik berupa pohon beringin, keris, maupun kuburan dan candi. MUI juga perlu melobi kerajaan Persia, penyembah api yang mungkin diwakili PDIP. Mereka mungkin akan menolak keinginan umat Islam. Alhamdulillah !. Hal itu merupakan pertanda bubarnya PDIP sebagai apa yang dialami kerajaan Persia di mana rajanya merobek surat Nabi Muhammad.
Pelanggaran Perjanjian oleh Quraisy Senayan.
Berita medsos, belakangan ini membicarakan rencana DPR dan Pemerintah meneruskan pembahasan RUU HIP dengan taktik mengubahnya menjadi RUU PIP. Apalagi, setelah Wakil Ketua Pembina BPIP, Jenderal Tri Sutrisno bertemu dengan Pimpinan MPR. Mantan Pangdam Jaya yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan umat Islam di Tanjung Priok (1984) ini menyatakan persetujuannya atas pembahasan RUU PIP dalam konteks penguatan BPIP. Hal ini dapat dipahami karena sebagai mantan Wakil Presiden Orde Baru, dikenal BP7, Lembaga yang ditugaskan menyimpangkan Pancasila menjadi “hono coroko” dengan dokrin P4 dan PMP. Sekalipun pimpinan Legium Veteran menyatakan, pernyataan Tri Sutrisno tersebut merupakan sikap pribadi, tetapi hal itu membuat partai musyrikin Quraisy – pengusung RUU HIP – tidak mengeluarkan RUU tersebut dari proglenas. Lain halnya kalau Jenderal Tri Sutrisno mencabut pernyataanya tersebut.

Pelajaran dari Penaklukan Kota Makkah
Genjatan senjata di antara umat Islam dan golongan kafir Quraiys, mendatangkan kemenangan gemilang dengan penaklukan kota Makkah. Hasilnya, Islam sampai ke Indonesia, mengubah bangsa primitive penyembah berhala, manjadi manusia berbudaya dengan Pancasila sebagai dasar negaranya. Penaklukan kota Makkah tersebut mestinya memicu MUI se-Indonesia dengan lobi-lobinya mendatangkan kemenangan berupa penaklukan Senayan. Kemenangan umat Islam berarti kemenangan umat beragama. Sebab, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tetap eksis, tidak diperas-peras. Maknanya, bangsa dan negara Indonesia juga akan tetap eksis. Apalagi, kemerdekaan negara ini hasil perjuangan umat Islam, mulai dari Teuku Umar di Aceh sampai Sultan Babullah dan Pattimura di belahan timur Indonesia. Bahkan, NKRI yang sekarang eksis juga adalah hasil perjuangan partai-partai Islam melalui mosi integral Mohammad Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen waktu itu (1950). Maknanya, kalau benar berita bahwa, tanggal 16 Juli nanti ada pleno DPR, maka hasilnya adalah dicabutnya RUU HIP/PIP dari proglenas. Hasil sebaliknya, berarti pengkhianatan dilakukan oleh pihak Senayan. Merujuk ke Perjanjian Hudaibiyah, maka Umat Islam harus menaklukan Senayan sebagaimana 12.000 umat Islam menaklukan kota Makkah dan semua penduduknya masuk Islam. Kesempatan emas bagi umat Islam, khususnya MUI, NU, Muhammadiyah, DDII dan omas-ormas yang tergabung dalam Anak NKRI menyadarkan seluruh penghuni Senayan untuk menerima Pancasila sebagai ajaran Islam sehingga tidak boleh diperas menjadi trisila dan ekasila. Konsekwensinya, semua berhala yang ada di Senayan harus dihancurkan, baik berupa UU yang melanggar UUD 45, partai pengusung, maupun Lembaga seperti BPIP.
Simpulannya, semua golongan umat Islam, bersatu padu, menaklukan Senayan agar segera mencabut RUU HIP/PIP dari proglenas. Membubarkan BPIP dan partai inisiator serta memroses pejabat atau anggota DPR yang mengembangkan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia. Kepala Negara, jika dalam kasus ini, tidak mendukung, tidak apa. Beliau dapat dilaporkan ke DPR dan seterusnya ke MK sebagai melanggar UUD 45. Semoga !

Oleh : Abdullah Hehamahua, Mantan Penasihat KPK.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru