Opiniindonesia.com – UU Cipta Kerja telah disahkan. Peraturan Pemerintah (PP) pun sedang disusun. Salah satu butir yang menarik adalah soal pesangon pekerja. Karena pesangon menjadi penting bagi pekerja manakala mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pada UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) menyatakan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.

Adapun acuannya besarannya terdiri dari: a) uang pesangon (ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya ongkos pekerja (ayat 4).

Patut diketahui, penggantian hak kesehatan dan perumahan dengan faktor 15% upah sudah tidak ada. Sebaai tambahan kompensasi PHK, UU Cipta Kerja Pasal 46A dan 46B pun mengatur adanya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), skema baru berdasarkan prinsip asuransi sosial yang tidak mengurangi manfaat dari jaminan sosial lainnya, dan tidak menambah beban bagi pekerja/buruh.

Bila pesangon diartikan uang yang diberikan sebagai bekal kepada pekerja saat diberhentikan dari pekerjaan atas alasan apapun. Maka untuk lebih jelasnya, berikut tabel perhitungan UP, UPMK, UPH sesuai dengan UU Cipta Kerja:

Uang Pesangon
(Pasal 156 ayat 2) Uang Penghargaan Masa Kerja (Pasal 156 ayat 3)
Masa Kerja Besaran UP Masa Kerja Besaran UPMK
< 1th 1 bulan upah 3 thn < 6 thn 2 bulan upah
1 thn tapi < 2 thn 2 bulan upah 6 thn < 9 thn 3 bulan upah
2 thn tapi < 3 thn 3 bulan upah 9 thn < 12 thn 4 bulan upah
3 thn tapi < 4 thn 4 bulan upah 12 thn < 15 thn 5 bulan upah
4 thn tapi < 5 thn 5 bulan upah 15 thn < 18 thn 6 bulan upah
5 thn tapi < 6 thn 6 bulan upah 18 thn < 21 thn 7 bulan upah
6 thn tapi < 7 thn 7 bulan upah 21 thn < 24 thn 8 bulan upah
7 thn tapi < 8 thn 8 bulan upah > 24 thn 10 bulan upah
8 thn 9 bulan upah

Uang Penggantian Hak/UPH (Pasal 156 ayat 4):
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang pekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam peraturan perusahaan/PKB.

Tentu, lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan syarat, mekanisme, dan kompensasi PHK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sesuai amanat Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

Nah, bila perhitungan di atas diimplementasikan, kira-kira kompensasi pesangon akibat PHK dapat diilustrasikan. Sebut saja, Si A seorang pekerja di Bekasi memiliki masa kerja 15 tahun dan upah 10 juta per bulan. Maka kompensasi PHK ilustrasinya seperti ini:

  • UP = 9 (sesuai masa kerja) X Rp. 10 juta = 90 juta
  • UPMK = 6 (sesuai masa kerja) X Rp. 10 juta = 60 juta
  • UPH = 1 (bila belum diambil) X Rp. 10 juta = 10 juta
    Kira-kira, total kompensasi yang diterima: Rp. 160 juta + 6 bulan upah dari JKP (BPJS TK/Pemerintah – dengan mekanisme yang akan diatur dalam PP)

Saat kapan kompensasi PHK diberikan kepada pekerja? Pada UU Cipta Kerja Pasal 154A disebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat dilakukan pemberi kerja/perusahaan atas 14 alasan, yaitu:

1) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, 2) efisiensi, 3) tutup akibat kerugian, 4) tutup akibat force majeur, 5) ada kewajiban pembayaran utang, 6) pailit, 7) melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh, 8) pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri, 9) pekerja/buruh mangkir, 10) pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, 11) pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib, 12) pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja, 13) pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau 14) pekerja/buruh meninggal dunia. Alasan-alasan itulah yang bisa jadi acuan terjadinya PHK.

Harus dipahami, pesangon adalah kewajiban pemberi kerja/perusahaan. Namun nyatanya, masih banyak pesangon pekerja yang tidak dibayarkan sesuai aturan. Sebabnya:

1) tidak tersedianya dana pemberi kerja saat harus dibayarkan dan 2) kesadaran pemberi kerja yang masih minim untuk mendanakan pesangon, termasuk program pensiun. Bahkan disinyalir, saat ini hanya 7% pemberi kerja/perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan yang berlaku.

Maka terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP, intinya UU Cipta Kerja harusnya jadi momen untuk memulai pendanaan pesangon. Bukan hanya dicatat atau dibukukan dalam sistem keuangan perusahaan. Tapi harus dipisahkan dari kekayaan perusahaan. Agar saat dibutuhkan, dananya sudah tersedia.

Jadi soal pesangon, seharusnya bukan dilihat dari besar kecilnya. Tapi kemauan pemberi kerja untuk mendanakannya. Karena cepat atau lambat, pesangon pasti dibayarkan. Maka solusinya, pesangon harus didanakan pemberi kerja sesuai amanat UU Cipta Kerja.

Oleh: Syarifudin Yunus, Pemerhati Pekerja & Edukator Dana Pensiun.