Opiniindonesia.com – Pemilu serentak merupakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang kemudian diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Indonesia perlu meninjau kembali makna “keserentakan” dari putusan MK ini.

Terang benderang kapasitas dan kapabilitas masyarakat dan penyelenggara pemilu tidak memadai dalam menggelar pemilu secara serentak. Sekitar 7,8 personel KPPS bertugas di 800.000 lebih TPS, dan di masing-masing TPS terdapat satu petugas pengawas, saksi peserta pemilu, dan petugas keamanan. Ini jumlah yang fantastis untuk ukuran sebuah pemilu yang jumlah penduduknya sangat besar.

Faktanya ada 120 orang anggota KPPS dan 550 orang dilaporkan sakit karena kelelahan akut. Belum lagi aneka dugaan pelangggaran dan kecurangan yang terjadi, seperti temuan kertas suara sudah tercoblos, salah input data C1, problem klasik DPT (pemilih hantu, pemilih ganda), politik uang, netralitas ASN, dan lain-lain.

Usulan yang paling realistis adalah membagi pemilu menjadi dua tahapan. Pertama gelaran pemilu nasional untuk memilih pejabat tingkat nasional seperti Presiden-Wakil Presiden, DPR RI dan DPD. Kedua gelaran pemilu lokal untuk memilih pejabat tingkat daerah, meliputi pemilu DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, hingga pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati. Diperlukan kajian akedemik dan peraturan (regulasi) baru untuk mewujudkannya. Pelaksanaan pemilu yang terpisah menjadi dua tahap ini akan membuat ‘voters’ (warga negara) tidak jenuh dan lebih mudah menentukan opsi pilihannya. Disamping itu, beban penyelenggaraan pemilu bisa berkurang secara proporsional dengan kinerja maksimal, dan tentu berdampak juga pada kondisi politik domestik yang relatif lebih stabil.

Selanjutnya, Indonesia juga layak meninjau kembali aturan penetapan presiden terpilih berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945. Putusan MK ini diakomodir dalam Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.

Intinya MK membatalkan adanya penafsiran perolehan suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi yang ada di Indonesia untuk menentukan pemenang pemilu presiden dan wakil presiden.

Artinya, penetapan pemenang pemilu presiden hanya ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, jika hanya dua paslon yang berlaga di perhelatan pemilu. UU yang diuji di MK adalah UU no. 42 tahun 2008 dan bisa digugat lagi keberlakuannya. Ada interpretasi yuridis lain bahwa putusan MK tersebut adalah dalam konteks Pemilu 2014.

Ini sama halnya dengan gugatan masyarakat (walaupun gagal) terhadap berlakunya presidential threshold yang diperuntukkan di Pemilu 2014, tetapi kembali diterapkan di 2019. Sekarang ini sudah ada UU Pemilu terbaru, sehingga marwahnya dapat mengikuti peraturan yang baru tersebut, yaitu UU no. 7 tahun 2017 yang di dalam Pasal 416 (1) menyebutkan persyaratan atas sebaran suara pemilih pada setiap provinsi.

Ada 3 Syarat terpilihnya Presiden & Wakil Presiden, berdasarkan UUD 1945 Pasal 6A Ayat 3, UU 42 Tahun 2008 (pasal 159) dan UU No 7 tahun 2017 (pasal 416), yaitu :

1. Suara capres harus memperoleh lebih dari 50 persen,
2. Memenangkan suara di setengah jumlah provinsi (minimal 17)
3. Di sisa provinsi lainnya yang kalah mendapat suara minimal 20 persen.

Jika misalnya tidak ada satu pun paslon yang head to head dalam kompetisi Pilpres dapat memenuhi ketiga syarat tersebut, maka bisa dinyatakan bahwa Pemilu tidak menghasilkan pemenang bagi capres dan cawapres yang berkontestasi.

Dan sesuai ketentuan Pasal 416 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 Pilpres diulang sampai dengan terpenuhinya ketentuan Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017. Proses ini perlu dilakukan sampai terpenuhi tanpa pembatasan berapa kali harus dilakukan.

Sebab ketentuan ini secara filosofis dibuat untuk mendapatkan akseptabilitas dan legitimasi yang luas dan kuat terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih – demi menjaga eksistensi NKRI serta untuk mengurangi disparitas pembangunan fisik dan non fisik di daerah-daerah diluar pulau Jawa yang tidak padat penduduknya.

Jika secara filosofis dari awal memang dimaksudkan untuk mendapatkan legitimasi de jure dan de facto, tetapi ternyata cuma ada dua paslon saja yang berlaga akibat pemberlakuan presidential threshold 20 persen, maka jangan kemudian hal ini dianggap tidak penting lagi karena justru bertentangan dengan makna dari filosofis tersebut.

Legitimasi adalah sesuatu yang sangat penting dalam proses seleksi melalui kompetisi elektoral. Sejatinya, sistem pemilu Indonesia tidak menganut sistem popular vote secara murni berdasarkan asumsi ‘one man one vote.’

Sebaliknya, Indonesia menganut sistem campuran, termasuk mengakomodasi sistem “electoral college”, keterwakilan atau representasi daerah dalam menentukan pemenang capres dan cawapres. Bisa saja nanti dari tiga syarat tersebut diatas oleh MK akan diakomodir, atau kemungkinan ditolak sebagaimana presidential threshold 20 persen, atau cukup dengan dua saja syarat terpenuhi maka presiden dan wakil presiden bisa dinyatakan terpilih.

Oleh : Igor Dirgantara, adalah Pengamat Politik, Director SPIN.