KETUA TIM Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin (Ko-Ruf), Erick Thohir, mengatakan “bohong kakau ada yang bilang harga-harga naik”. Dia ucapkan itu ketika turun ke Pasar Terong di Makassar, beberapa hari lalu.

Pengusaha kaya-raya ini mengatakan harga-harga stabil. Tidak ada yang naik.

Kalau emak-emak Sumatera, Jawa dan Kalimantan tahu apa yang dikatakan Erick itu, bisa besar urusannya. Setidaknya mereka akan mengatakan Erick Thohir sok tahu.

https://opiniindonesia.com/2018/10/21/begini-cerita-emak-emak-berdiskusi-dengan-pakar-ekonomi/

Sebetulnya Erick bukan sok tahu. Yang menjadi masalah adalah perbedaan yang sangat kontras antara makna kenaikan harga yang dipahami Erick dan makna yang dipahami rakyat kecil.

Bagi Erick, kenaikan 500 perak, 2,000 perak, 3,000 perak dst tak akan terdeteksi sama sekali oleh sistem digitasi duitnya. Emak-emak bisa ribut gara-gara harga cabai naik 3,000 rupiah. Sedangkan Erick tetap santai kalau salah satu perusahaannya mengalami kerugian 3,000 juta rupiah, yang berarti hanya 3 miliar. Kerugian segini tak masuk dalam hitungan Erick.

Jadi, mana mungkin dia bisa merasakan kepedihan emak-emak yang harus menambah pengeluaran 15 ribu atau 30 ribu rupiah sehari. Jauh sekali. Tak akan pernah dia pahami. Pecahan-pecahan yang sangat berarti bagi emak-emak, tidak masuk dalam hitungan Erick Thohir. Sebab, angka-angka ini bagi Erick adalah supermikro.

Erick itu sehari-hari membaca laporan keuangan group perusahaanya dengan sebutan ‘ratusan miliar’ ataun ‘puluhan miliar’ paling rendah. Itu laporan harian. Laporan tahunannya hampir pasti dalam angka triliunan. Kalau dalam dollar atau euro, sebutannya juta, belasan juta, atau ratusan juta.

Nah, bagaimana mungkin Anda mengharapkan Erick bisa ‘nyambung’ dengan angka 500 rupiah atau 2,000 rupiah? Manalah dia paham tentang kenaikan harga yang dibicarakan oleh emak-emak? Anda bercerita beras naik dari Rp10,500 menjadi Rp11,750. Sementara Erick mencatatkan laba tahunan 700-800 miliar dalam round-up atau pembulatan yang menggolongkan belasan juta sebagai recehan. Bukan seperti kita yang masih memperhatikan recehan seribu-dua ribu.

Berbeda dengan Sandiaga Uno. Beliau ini memamg orang kaya-raya juga tapi sudah sejak lama bergelut dengan ekonomi rakyat. Dia paham betul keluhan emak-emak. Dia mengerti dampak negatif kenaikan sembako dan kebutuhan dapur lainnya.

Sandi banyak menghabiskan waktu mengunjungi pasar-pasar rakyat. Dia berdialog dengan para pedagang kecil. Saking seringnya Sandi blusukan ke pasar-pasar di seluruh Indonesia, sampai-sampai Erick Thohir menyindir bahwa Sandi hanya melakukan pencitraan.

Ini bisa dimaklumi. Karena, Sandi sudah terlalu akrab dengan pasar rakyat. Akrab dengan emak-emak. Sehingga, tanpa terasa, Sandi menjadi terasosiasi dengan pasar rakyat dan emak-emak. Terasosiasi dengan kebutuhan dapur, selalu terpaut dengan harga-harga keperluan rakyat.

Begitu eratnya pengasosiasian itu, ke pasar mana pun Sandi berkunjung dia akan selalu ‘dihajar’ oleh emak-emak. Dikerumuni, dikepung, didaulat, dsb. Dan ini pula yang membuat Erick Thohir gerah. Sampai akhirnya dia katakan Sandi hanya melakukan pencitraan.

Tapi Sandi tak melayani Erick. Dia tahu ketua timses Jokowi itu susah memahami ekonomi emak-emak, ekonomi orang kecil.

Sandi tak perduli. Dia terus saja mendatangi pasar rakyat dengan ramah dan lembut.

Di mana pun dia berada, Sandi tak pernah lupa menyebutkan tekadnya untuk menjaga agar harga-harga selalu dalam jangkauan rakyat kecil jika kelak dia diberi mandat sebagai wakil presiden. (*)

[Oleh : Asyari Usman. Penulis adalah wartawan senior]

(*) Untuk membaca tulisan Asyari Usman yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.