SAYA ingin bercerita singkat tentang seorang anak kandung bangsa. Seorang putra yang jelas silsilah dan asal usulnya. Kakeknya pendiri bank negara, bapaknya pendiri fakultas ekonomi di Universitas Indonesia.

Sejak kecil dia banyak menjalani hidup di luar negeri. Dia kerap diejek dan diledek oleh teman sekolahnya karena Indonesia dinilai sebagai negara kelas dua. Dia geram dan tidak terima. Makin diledek, makin nasionalis jiwanya.

Setelah lulus sekolah, dia dihadapkan dua pilihan untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Melanjutkan study di universitas ternama di Amerika Serikat atau masuk Akabri di Magelang. Dua-duanya diterima. Hingga akhirnya, dia putuskan untuk jadi tentara. Kecintaan kepada negara menjadi alasannya.

Setelah menjadi prajurit, dia ditugaskan ke berbagai medan perang. Mulai dari Timor Timur hingga Papua. Dia menjadi saksi mata sejumlah temannya gugur di medan laga. Sumpah setia kepada Merah Putih dan Pancasila semakin dalam dia tanam.

Dia prajurit gagah dan perwira cemerlang. Tragedi Mapenduma dan penaklukan gunung Himalaya adalah dua dari sekian banyak cerita yang dia torehkan untuk Indonesia di kancah dunia.

Tapi, dia juga menjadi orang yang dipilih Tuhan untuk menghadapi banyak ujian. Politik huru-hara 98 membuat dia terbuang dari kesatuan. Tak hanya itu, dia juga harus dipisahkan dengan orang yang dia sayang. Kala itu dia seakan menjadi sorotan dan target pesakitan.

Anehnya, dia tidak membalas dan bereaksi berlebihan. Dia lebih memilih menenangkan diri di Yordan. Dia rela menjadi sasaran tuduhan dan menghilang dari peredaran yang penting negara kembali aman. Dia korban dan kambing hitam dari ganasnya politik kekuasaan.

Dia bukan koruptor yang betah menetap lama di luar negeri. Dalam satu purnama dia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Dia memulai hidup baru dengan cara berkontribusi di bidang ekonomi, mengurus para petani, sesekali mengumpulkan anak-anak muda untuk berdiskusi.

Dia punya tekad besar untuk membangun negeri. Dia sadar, hanya jalur politik yang bisa mewujudkan semua mimpi. Hingga akhirnya, bidang yang penuh intrik ini pun dia geluti.

Dia bukan purnawirawan yang hanya bermodal pengaruh lalu mengatur kekuasaan. Dia juga bukan pengusaha yang hanya memanjakan rezim demi menjaga harta kekayaan. Dia pilih muncul ke permukaan, partai politik dia dirikan, dan langsung memimpin barisan. Ikhtiar demokrasi dari nol dia jalankan hingga tumbuh dan berkembang.

Selama berkiprah di panggung politik, banyak kisah dia rasakan. Difitnah lawan, dikhianati teman, dihajar pemberitaan, dan lain sebagainya. Uniknya, dia tidak menyimpan dendam dan mewariskan kebencian. Dia tetap tegak lurus dengan cita-cita yang diimpikan. Indonesia menjadi negara adil dan makmur ke depan.

Tanpa memiliki jabatan kenegaraan dan kuasa anggaran, selama ini dia sudah banyak terlibat membangun masa depan. Sebelum ada Kartu Indonesia Pintar, dia sudah menyekolahkan banyak orang dari berbagai jenjang dan dari berbagai daerah. Dari kocek pribadinya, dia mencetak banyak sarjana, master dan doktor meski bukan keluarga.

Sebelum ada Kartu Indonesia Sehat, dia sudah banyak membantu meringankan dan membiayai pengobatan banyak orang. Bahkan sebelum ada Kartu Prakerja, dia sudah banyak membuka lapangan pekerjaan. Dia karyakan anak-anak muda yang lahir dari keluarga pas-pasan.

Dedikasi, loyalitas, pengorbanan dan rasa cinta kepada negeri sudah dia lalukan sejak lama. Punya banyak harta tapi mobilnya itu-itu saja. Bahkan, dari segi berpakaian pun dia seperti tak punya banyak koleksi pilihan.

Dia seakan sedang menjalankan sebuah ajaran. “Khoirunnas anfa’uhum linnas”. Sebaik-baiknya manusia, adalah yang bisa memberi manfaat bagi manusia lain.

Dan saat ini, dia sedang dicaci, dicerca, dibully dan dituding PENGKHIANAT oleh segelitir orang yang baru berisik soal politik sewindu yang lalu.

Jujur, saya enggak terima…

[Oleh: Tb Ardi Januar. Penulis adalah mantan wartawan, tapi masih muda dan tidak senior]