PADA akhir 2004, ketika SBY menduduki kursi Presiden, jumlah utang pemerintah sebesar Rp1.299,5 triliun. Lalu, 10 tahun SBY berkuasa meninggalkan pemerintahan dengan jumlah utang mencapai Rp2.608 triliun pada 2014. Artinya, nominal utang di era SBY naik Rp1.308,5 triliun atau 100,69 persen dalam 10 tahun. Sementara di era Jokowi, utang menjulang hingga menyentuh angka Rp4.418 triliun pada 2018. Utang naik Rp1.810 triliun atau 69,4 persen dari tahun akhir pemerintahan SBY. Dalam hitungan praktis, maka bisa dikatakan penambahan rata-rata utang di era SBY sebesar Rp130,85 triliun per tahun. Sedangkan di era Jokowi sekitar Rp452 triliun per tahun. Itu artinya jika dibandingkan dengan masa kepemimpinan yang baru empat tahun, Jokowi pemerintahan yang aktif berhutang.

Sebelum kita mem bahas utang Indonesia, kita harus tahu dulu jenis utangnya. Utang terbagi menjadi 3 tiga jenis jika dilihat dari siapa yang meminjam, yaitu utang pemerintah, utang bank sentral (BI), serta utang swasta yang terdiri dari bank dan nonbank/perusahaan bukan lembaga keuangan. Mengapa kita harus tahu tiga jenis utang ini ? karena dampak dan penangananya berbeda beda. Bila utang pemerintah, akan memengaruhi kondisi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Sedangkan utang swasta, pengaruhnya lebih pada cadangan devisa (cadev) di Bank Indonesia (BI). Jika utang pemerintah meningkat, maka beban APBN bisa semakin berat, bila ternyata penerimaan yang diperoleh negara tak sebanding. Apabila utang swasta terus naik, maka bisa memicu krisis keuangan di sektor swasta atau perusahaan. Dan keduanya, baik utang pemerintah maupun swasta sama-sama bisa menimbulkan krisis perekonomian di dalam negeri.

Jika kita lihat dari sumbernya, Utang Indonesia terbagi 2 jenis yakni utang dalam negeri (domestik) dan utang luar negeri (ULN). Utang dalam negeri sudah pasti dalam bentuk mata uang rupiah, sedangkan utang luar negeri berupa valuta asing (valas) dan yang paling banyak berupa dolar AS (USD).

Data pada bulan Agustus 2017, ULN Indonesia dalam mata uang dolar AS (USD) mencapai US$228,820 miliar, dalam yen Jepang (JPY) sebesar US$24,054 miliar, lalu dalam kelompok mata uang SDR (mata uang internasional yang diciptakan IMF) US$4,914 miliar, dalam British Pound equals atau ponsterling (GBP) sebesar US$234 juta, dalam euro (EUR) sebesar US$12,958 miiar, dalam bentuk Swiss Franc equel (CHF) sebesar US$174 juta, utang Indonesia dalam Rupiah (IDR) sebesar US$65,934 miliar, dan dalam mata uang lainnya sebesar US$3,454 miliar.

Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah utang luar negeri, karena bentuknya dalam mata uang lain, artinya ada resiko dari pergerakan nilai tukarKetika rupiah melemah terhadap –katakanlah USD, maka beban utang luar negeri akan semakin meningkat. Sedangkan pergerakan nilai tukar rupiah juga sangat dipengaruhi kondisi eksternal atau global maupun domestik. Bila ada gejolak di luar negeri, maka mata uang global juga akan terpengaruh.

Contohnya jika utang awalnya sebesar US$100 atau setara Rp1.200.000, dengan kurs Rp12.000/USD. Karena nilai tukar rupiah terhadap USD melemah, katakanah menjadi Rp13.000/USD, maka otomatis utang jadi membengkak. Hitungannya adalah:

Utang awal US$100 (kurs Rp12.000/USD) = Rp12.000 x US$100 = Rp1.200.000
Kurs menjadi Rp14.000/USD, maka = Rp14.000 x US$100 = Rp1.400.000
Karena kurs rupiah berubah, maka utang bertambah sebesar = Rp1.400.000 –

Rp1.200.000 = Rp200.000 (tambahan utang baru secara otomatis karena pelemahan rupiah)

Pengaruh kurs ini sama-sama memberatkan, baik bagi utang pemerintah maupun utang publik/swasta. Karena ada cost (biaya) atau tambahan yang harus dibayarkan selain beban bunga yang menjadi tanggungan dan utang pokoknya.

Baik utang pemerintah maupun swasta, keduanya memberikan dampak yang buruk terhadap perekonomian nasional apabila porsinya tidak seimbang alias terlalu besar.Dampak buruk utang pemerintah yang terlalu besar adalah beban dari APBN. Artinya kemampuan negara untuk membayar utang tersebut. Bila utang suatu negara besar dan melampaui rasio yang aman, maka bisa menimbulkan default (gagal bayar), Sebagai contoh adalah Yunani. Negara yang dinyatakan bangkrut akan menyebabkan tidak ada yang mau memberikan pinjaman atau berminat untuk melakukan investasi (menanamkan modalnya).

Kalaupun ada negara yang memberikan pinjaman (utang), maka biayanya pun menjadi mahal, karena negara yang menerima utang harus memberikan bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian, APBN menjadi tidak kredibel di mata investor.Akhirnya, negara akan sulit menarik investasi masuk ke Tanah Air dan itu mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Kalau investasi enggan masuk, industri akan sulit tumbuh dan banyak tenaga kerja tidak terserap. Kemiskinan pun meningkat.

Sedangkan dampak buruk utang publik/swasta yang terlalu besar adalah terkurasnya cadangan devisa negara, karena BI harus mengeluarkan dolar AS lebih banyak. Bila cadev banyak terkuras, maka USD akan semakin langka, dan kelangkaan USD akan membuat nilai tukar rupiah akan semakin melemah. Kalau hal ini terjadi maka dampaknya adalah beban korporasi (perusahaan) yang melakukan pinjaman ke luar negeri akan semakin besar karena utangnya bisa meningkat tajam. Bila banyak perusahaan yang gagal bayar, maka akan dinyatakan bangkrut dan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat banyaknya perusahaan atau industri yang gulung tikar.

Lalu bagiamnakah mengukur utang bahayanya bagi perekonomian?

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang adalah salah satu instrumen pembiayaan yang sah lantaran telah diatur oleh UU. Total utang pemerintah hingga Januari 2019 mencapai Rp 4.498,56 triliun. Angka ini sama dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 30,1 persen. Nampaknya masih aman dari batas yang ditetapkan UU sebesar 60 persen dari PDB. UU no 17/2013 tidak menjelaskan mengapa membatasi cuma 60 persen dari PDB, apa dasarnya penetapan tersebut ?

Ternyata sejarah batas rasio 60 persen di UU Keuangan Negara tersebut ternyata diadopsi dari Maastricht Treaty tahun 1992 dalam rangka menyelaraskan fiskal negara-negara Uni Eropa. Angka 60 persen diperoleh dari dua kali tax ratio negara-negara Uni Eropa saat itu yang rata-rata sebesar 30 persen. Oleh karena itu menjadi pertanyaan kita apakah tax ratio kita 30 persen ? saat ini tax ratio kita cuma 11 persen jika kita kalikan 2 maka hanya 22 persen sehinga sudah seharusnya kita merevisi UU keuangan untuk membuat parameter baru jumlah ratio utang terhadap PDB sebagai standar keamanan keuangan.

Jika kita lihat kondisi aktual yang terjadi di Argentina yang terkena krisis mata uang di tahun 2018 ternyata rasio utang terhadap PDB nya 57 persen. Padahal Belum tembus batas 60 persen tetapi sudah lewati dua kali tax ratio nya yang sebesar 24,5 persen. Oleh karena itu belajar dari pengalaman, seharusnya yang harus diadopsi ke dalam UU Keuangan Negara bukan 60 persennya, tapi rumus dua kali tax rationya. Artinya, bila saat ini tax ratio versi pemerintah sekitar 11 persen, maka batas aman rasio utang terhadap PDB kita seharusnya adalah 22 persen. Yang artinya kita harus waspada karena sudah cukup jauh melewati batas aman.

Hal ini bisa dilihat dari terus terjadi volatilitas dollar amerika yang tinggi, kemudian utang yang terus menerus, defisit transaksi perdagangan, dan situasi global yang kurang menguntungkan, sehingga daya beli masyarakat turun,harga sembako belum bisa dikendalikan, banyaknya uMKM berguguran dan tutupnya beberapa pabrik, adalah gejala yang harus diwaspadai oleh pemerintah

Oleh karena itu pemerintah harus mengatur ulang strategi, untuk menaikkan tax ratio, serta pemanfaatan utang yang berkualitas. Sehingga celah kemungkinan krisis bisa ditutupi, dengan peningkatan ekport dan menurunkan impor. Yang paling penting adalah antisipasi pengangguran akibat revolusi industri 4,0 dengan menerapkan society 5,0 dengan membuat kebijjakkan yang berpihak pada manusia bukan pada teknologi.

Karena kondisi saat ini utang kita cukup beresiko, yaitu utang sudah untuk membayar utang, artinya utang bukan buat investasi produktif. Ini bisa diliahat indokatornya dari neraca transaksi berjalan yang minus, perdagangan yang minus dna turunya pertumbuhan manufaktur kita. Hal ini akan bertahan sampai kapan? walallahualam.

[Oleh: Helmi Adam. Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Ekonomi Universitas Borobudur Jakarta